Perekonomian Orde Lama di Indonesia
1.Inflasi
Dalam
ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses
meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus berkaitan dengan
mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain,
konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu
konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya
ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat
harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan
inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap
terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling
pengaruh-memengaruhi
Pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Setlah itu, khususnya pada
tahun-tahun pertama setelah merdeka, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk;
ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi. Defisit saldo neraca
pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di
sektor pertanian dan sektor industri manufaktur praktis terhenti; tingkat
inflasi sangat tinggi, hingga mencapai lebih dari 500% menjelang akhir periode
orde lama. Semua ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, yang penting
diantaranya adalah pendudukan Jepang, Perang Dunia II , Perang Revolusi, dan
Manajemen Ekonomi Makro yang sangat jelek.
Dapat dikatakan bahwa
Indoneisa pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada
periode 1949-1956. Akan tetapi, sejarah Indonesia menunjukan bahwa sistem
politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian
nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin
berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik. Konflik politik tersebut
berkepanjangan sehingga tidak memberi sedikit pun kesempatan untuk membentuk
suatu kabinet yang solid yang dapat bertahan hingga pemilihan umum berikutnya
Selama periode 1950-an
struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor
formal/modern, seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank, dan
pertanian komersi, yang memiliki konstribusi lebis besar daripada sektor
informal/tradisional terhadap output nasional atau produk domestik bruto (PDB)
didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut relatif lebih padat
kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi oleh pengusaha
pribumi dan beralokasi di kota-kota besar , seperti Jakarta dan Surabaya.
Keadaan ekonomi di Indonesia,
terutama setelah dilakukan nasionalisasi terhadap semua perusahaan asing di
tanah air, termasuk perusahaa-perusahaan milik Belanda, menjadi lebih buruk
dibanding keadaan ekonomi pada masa penjajahan Belanda, ditambah lagi dengan
peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi pada dekade 1950-an. Pada masa
pemerintahaan Belanda Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup
baik dengan tingkat inflasi yang sangat rendah dan stabil, terutama karena
tingkat upah buruh dan komponen-komponen lainnya dari biaya produksi yang juga
rendah, tingkat efeisensi yang tinggi di sektor pertanian, dan nilai mata uang
yang stabil.
Selain kondisi politik di
dalam negeri yang tidak mendukung, buruknya perekonomian Indonesia pada masa
pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh keterbatasan akan faktor-faktor
produksi, seperti orang-orang dengan tingkat kewirausahaan dan kapabilitas
manajemen yang tinggi, tenaga kerja dengan pendidikan / keterampilan yang
tinggi, dana (khususnya untuk membangun infrastruktur yang sangat dibutuhkan
oleh industri), teknologi, dan kemampuan pemerintah sendiri untuk menyusun
rencana dan strategi pembangunan yang baik. Menurut pengamatan Higgins
(1957a,b), sejak kabinet pertama dibentuk setelah merdeka, pemerintah Indonesia
memberikan prioritas pertama terhadap stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi,
pembangunan industri, unfikasi, dan rekonstruksi.
Usaha-usaha
yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya
menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan
perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan
ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi
Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi
perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan
Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e. Kasimo Plan
yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk
pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan
membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber
kekayaan).
2. Pertumbuhan Ekonomi
Masa orde lama dimulai dari tanggal 17 Agustus 1945 saat Indonesia merdeka.
Pada saat itu,keadaan ekonomi Indonesia mengalami stagflasi (artinya stagnasi produksi
atau kegiatan produksi terhenti pada tingkat inflasi yang tinggi). Indonesia pernah
mengalami sistem politik yang demokratis yakni pada periode 1949 sampai
1956. Pada tahun tersebut, terjadi konflik politik yang berkepanjangan
dimana rata-rata umur kabinet hanya dua tahun sehingga pemerintah
yang berkuasa tidak fokus memikirkan masalah-masalah sosial dan ekonomi
yangterjadi pada saat itu. Selama periode 1950an struktur ekonomi Indonesia
masih peninggalan jaman kolonial, struktur ini disebut dual society dimana struktur
dualisme menerapkandiskriminasi
dalam setiap kebijakannya baik yang langsung maupun tidak langsung. Keadaan ekonomi Indonesia menjadi bertambah buruk
dibandingkan pada masa penjajahanBelanda.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi mulai meramba ke
proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya kebijakan Rencana
Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini berisi rencana
pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk mendukung proyek
besar tersebut. Rencana ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan
perhitungan modern. Namun sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun
ini tidak berjalan atau dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti
adanya kekurangan devisa untuk menyuplai modal serta kurangnya,tenaga,ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini mengalami penurunan atau memburuk.
Terjadinya pengeluaran besar-besaran yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan
pertumnbuhan ekonomi melainkan berupa pengeluaran militer untuk biaya
konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek mercusuar, dan dana bebas (dana
revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat dari rezim yang berkuasa.
Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya hiperinflasi yang mencapai 650%.
Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam pergaulan internasional dan mulai
dekat dengan negara-negara komunis.
3. Nilai Tukar Rupiah
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka
Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia
menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan
sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam
sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
- Devaluasi
yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut
:Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
- Pembentukan
Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia
dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi
bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga
naik 400%.
- Devaluasi
yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10
kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka
inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
4. Utang Negara
Presiden Soekarno sempat tak setuju
dan membatalkan warisan utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari
pemerintah Hindia Belanda pun tak seluruhnya dibayar. Tapi bukan berarti
Soekarno anti terhadap utang. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung
Karno juga pernah berutang ke negara lain. "Utamanya ke negara-negara blok
timur, Uni Soviet dan sekutunya. Ada bantuan (utang) dari AS, tapi jumlahnya
tidak lebih besar dari utang yang diperoleh dari Uni Soviet dan
sekutunya," jelasnya.
Soekarno pun melanjutkan
tradisi pengalihan utang ke pemerintahan
Soeharto
. Bung Karno mewarisi utang sekitar USD 2,3 miliar (di luar utang Hindia
Belanda USD 4 miliar). Saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah
menanggung beban utang dari Soekarno . Tapi, bukannya melunasi utang
sebelumnya, Soeharto yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun justru semakin
rajin melakukan pinjaman baru. Bedanya, Soeharto tidak memilih utang dari
negara blok timur, tapi cenderung ke blok barat dan lembaga asing semisal Bank
Dunia dan IMF. Warisan utang dari Hindia Belanda yang sempat dibatalkan oleh
Soekarno , justru di re-schedule ulang oleh Soeharto pada 1964. Selain
mereschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman baru. Utang di era
Soeharto , kata dia, diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai dari bangun
infrastruktur, bangun pabrik, industri, dan lain-lain. "Tapi yang tidak
dilupakan adalah utang di era Soeharto banyak disebut utang haram karena tidak
bisa dipertanggungjawabkan. Karena dikorupsi," jelasnya. Data yang ada
menyebutkan, rezim orde baru berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika
dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahan Soeharto , utang negara bertambah
sekitar Rp 46,88 triliun tiap tahun.
5.
Angka Kemiskinan
Jika
kita membaca kembali sejarah pengentasan kemiskinan di Indonesia, setiap
periode memiliki karakteristik yang berbeda. Di Era Orde Lama pengentasan
kemiskinanbukan prioritas. Pemerintah saat itu lebih fokus kepada pembangunan
karakter bangsa dan stabilitas politik dalam negeri. Strategi pembangunan
ekonomi model Orde Lama bersifatinward-looking dan nasionalistik.
Sebenarnya, ada beberapa kebijakan pengentasan kemiskinan yang cukup baik
dijalankan yakni reformasi lahan (land reform). Meskipun kebijakan itu
lebih didorong sentimen ideologis sosialisme yang merupakan antitesis
kolonialisme-kapitalisme barat, namun kebijakan ini secara substansial memiliki
tujuan yang sangat baik karena mampu mendobrak sistem kepemilikan aset lahan
yang feodal dan menciptakan kesetaraan dan kesempatan yang lebih baik. Namun,
pada tahun 1965-1966 terjadi gejolak krisis politik yang menyebabkan pen
dapatan per kapita menurun tajam dan inflasi meningkat hingga mencapai lebih
dari 650% dan perekonomian kolaps. Diperkirakan saat itu sekitar 70% dari
total populasi masuk kategori miskin dan kelaparan dimana-mana.
6.
Investasi
Investasi adalah suatu istilah dengan beberapa pengertian yang
berhubungan dengan
keuangan dan
ekonomi. Istilah tersebut berkaitan dengan akumulasi suatu
bentuk
aktiva
dengan suatu harapan mendapatkan
keuntungan
dimasa depan. Terkadang, investasi disebut juga sebagai
penanaman modal.
Sama-sama masih terdapat
ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan Setelah Indonesia Merdeka,
ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun tetap saja ada
terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa
orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk
daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi
menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin
tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa
kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dikatakan
cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap masyarakat.
Comments
Post a Comment