Perekonomian Indonesia pada Masa Orde Baru
1. Inflasi
Di
awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Kemerosotan ekonomi ini ditandai
oleh rendahnya pendapatan
perkapita
penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang
mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi
di akhir pemerintahan Soekarno. Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah
Orde Baru membuat program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No.
XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha
rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang. Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan
apabila inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi
akan pulih dan produksi akan meningkat.
Mulai tahun 1 April 1969,
pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang disebut sebagai
Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus
pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan investasi..
Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi kebutuhan pangan
sebelum membangun sektor-sektor lain. Pembangunan antara lain dilaksanakan
dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi,
perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan
kredit perbankan.. Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana
penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
2. Pertumbuhan
Ekonomi
Perekonomian Indonesia masa orde baru (1966-1998)
Inflasi pada
tahun 1966 mencapai 650%,dan defisit APBN lebih besar daripada seluruh jumlah
penerimaannya. Neraca pembayaran dengan luar negeri mengalami defisit yang
besar, nilai tukar rupiah tidak stabil” (Gilarso, 1986:221) merupakan gambaran
singkat betapa hancurnya perekonomian kala itu yang harus dibangun lagi oleh
masa orde baru atau juga bisa dikatakan sebagi titik balik.
Awal masa orde baru menerima beban berat dari buruknya
perekonomian orde lama. Tahun 1966-1968 merupakan tahun untuk rehabilitasi
ekonomi. Pemerintah orde baru berusaha keras untuk menurunkan inflasi dan
menstabilkan harga. Dengan dikendalikannya inflasi, stabilitas politik tercapai
ayng berpengaruh terhadap bantuan luar negeri yang mulai terjamin dengan adanya
IGGI. Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan
pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut
penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
A.
REPELITA I (1967-1974)
mulai berlaku sejak tanggal 1april
1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan
sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana
terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan
lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
B. REPALITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah
sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang
merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan
dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
REPALITA III (1979-1984)
Prioritas tetaap pada pembangunan
ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan,
serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
D. REPALITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA
III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Priorotasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Jika ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah
mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan
industri bertahap.
3. Nilai Tukar Rupiah
Pada tanggal 13 Desember 1965
melalui Penetapan Presiden RI No. 27/1965, pemerintah/kabinet Dwikora I menarik
peredaran semua mata uang pada waktu itu dan menggantinya dengan mata uang baru
dan ditetapkan bahwa nilai tukarnya 1.000 : 1. Ini artinya setiap 1.000 rupiah
lama dapat ditukar menjadi 1 rupiah Baru. Pada saat itu nilai kurs dolar
terhadap rupiah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa. Menurut catatan BI,
nilai tukar 1 dolar AS di pasar gelap mencapai 36.000 rupiah lama.
Kebijaksanaan lama dan datangnya
babak baru sejarah moneter Indonesia, karena segera disusul kebijakan
Pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan
Presiden Suharto yang
menerapkan sistem anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas.Pada zaman
Presiden Soeharto uang pertama yang dikeluarkan adalah uang kertas seri
"Sudirman" dengan pecahan 1, 2½, 5, 10, 25, 50, 100, 500, 1.000,
5.000, dan 10.000 rupiah, yang ditandatangi oleh Gubernur BI Radius Prawiro dan
Direktur BI Soeksmono B Martokoesoemo, beremisi tahun 1968 dan mulai diedarkan
pada tanggal 8 Januari 1968.
Pada tanggal 23 Agustus 1971,
Pemerintah/kabinet Pembangunan I mendevaluasi rupiah sebesar 10%, hingga nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS yang semula 1 dolar sama dengan 378, kini
menjadi 415 rupiah.
Setelah itu pada tahun 1975,
BI mengeluarkan uang kertas pecahan 1.000 rupiah bergambar Pangeran Diponegoro,
5.000 rupiah bergambar Nelayan, dan pecahan 10.000 rupiah bergambar relief
Candi Borobudur. Masing-masing ditandatangai oleh Gubernur BI Rachmat Saleh dan
Direktur BI Soeksmono B Martokoesoemo.
Sejalan dengan perkembangan
pembangunan Indonesia yang semakin pesat di era tahun 1990, membuat kita
memerlukan pecahan uang yang lebih besar. Akhirnya, Bank Indonesia pada tahun
1992 menerbitkan seri uang baru beremisi tahun 1992 dan terdiri dari pecahan
100 rupiah bergambar perahu Phinisi, pecahan 500 rupiah bergambar Orang Utan,
1.000 rupiah bergambar Danau Toba, pecahan 5.000 rupiah bergambar alat musik
Sasando dan tenunan Rote, pecahan 10.000 rupiah bergambar Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, dan pecahan 20.000 rupiah bergambar Cendrawasih merah.
Pada tahun 1993 dikeluarkan
lagi pecahan 50.000 rupiah yang bergambar Presiden Suharto. Dikeluarkan juga
penerbitan khusus dengan pecahan dan gambar yang sama tetapi terbuat dari bahan
palstik polymer dengan pengaman berupa "holografis" Soeharto, bukan
tanda air/watermark, seperti yang biasa digunakan.Pada akhirnya di pertengahan
tahun 1997, bangsa kita mengalami krisis ekonomi dengan melonjaknya nilai mata
uang dolar terhadap rupiah. Perubahan nilai tersebut teramat drastis dan
menyebabkan kita berada dalam krisis yang berkepanjangan. Salah satu akibat dari
krisis ini adalah kejatuhan rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden
Suharto dari kursi kepresidenan dan dimulai Orde Reformasi. Pada saat itu pula
pecahan rupiah kita yang terbesar diedarkan, yaitu pecahan 100.000 rupiah
beremisi tahun 1999 bergambar Soekarno, Muh. Hatta dan teks proklamasi. Pecahan
ini merupakan uang plastik (Polymer) dan dicetak di Australia dan Thailand.
4. Utang Negara
Utang Era Habibie (1998–1999)
Masa pemerintahan B. J.
Habibie merupakan pemerintahan transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi.
Habibie hanya memerintah kurang lebih setahun, 1998–1999. Pada 1998 terjadi
krisis moneter yang menghempaskan perekonomian Indonesia dan pada saat yang
bersamaan juga terjadi reformasi politik. Kedua hal ini mengakibatkan rating kredit
Indonesia oleh S&P terjun bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat CCC.
Artinya, iklim bisnis yang ada tidak kondusif dan cenderung berbahaya bagi
investasi.Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar
US$178,4 miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan
sisanya idle. Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998
menjadi 70% pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang
menjadi tonggak peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan
baik di kalangan investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan
perekonomian, sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan”
dengan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Utang Era Gus Dur (1999–2001)
Abdurrahman Wahid, atau yang
lebih dikenal dengan nama Gus Dur, naik sebagai Presiden RI ke-4 setelah menang
dalam Pemilu 1999. Namun, pada masa pemerintahan Gus Dur kerap terjadi
ketegangan politik yang kemudian membuat Gus Dur terpaksa lengser setelah
berkuasa selama kurang lebih dua tahun 1999–2001. Pada masa Gus Dur, rating
kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu
naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari krisis
moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya.
Saat itu utang pemerintah
mencapai Rp1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang
cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang
yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap
pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001
meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja
meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama. Saat itu Indonesia
dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus
Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan
jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999
menjadi US$157,3 miliar pada 2001. Namun, utang nasional secara keseluruhan
tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000
menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB
juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.
Utang Era Megawati (2001–2004)
Masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga tahun (2001–2004). Namun, pada masa
pemerintahan presiden wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus
yang kontroversial mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Pada masanya,
Megawati melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang negara yang
makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang terbawa
sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu, satu-satunya
cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara.
Privatisasi pun dilakukan
terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi
pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total
nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT
Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi
privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan
Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong
negara.Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah
utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah
melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar
Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun
sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia
terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5
triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati
adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya.
Namun, terdapat hal positif
lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat
penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia. Sejak 2002 hingga 2004, penyerapan
utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang ada. Hal ini
memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas utang yang
ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari porsi
utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001 menjadi 47% pada
2004. Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang meningkatnya rating
kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002 menjadi B pada 2004.
Utang Era SBY (2004–2009)
Pemerintahan SBY-JK dengan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-nya menjadi pemerintahan pertama yang dipilih
melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia. Sistem politik yang makin
solid membawa ekspektasi dan respons positif pada kondisi perekonomian Indonesia.
Hal ini terlihat dari nilai PDB Indonesia yang terus meningkat hingga mendekati
angka Rp1.000 triliun pada 2009. Tingkat kemiskinan pun diklaim “turun” oleh
pemerintah (meskipun sampai saat ini definisi mengenai kemiskinan masih menjadi
perdebatan).
Namun, bagaimana dengan
masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini? “Diwarisi” utang oleh
pemerintahan sebelumnya sebesar Rp1.299,5 triliun, jumlah utang pada masa
pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700 triliun per Maret
2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang sebesar Rp80
triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun 2009. Utang
pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun utang dalam
negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman luar negeri
digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek pemerintah yang
berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.Meski
jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY, penyerapan
utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penyerapan yang
rata-rata mencapai 95% dari total utang. Lalu, apa implikasi dari penyerapan
ini? Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri lebih jauh, selama
lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB terlihat makin kecil,
hingga menyentuh 32% pada 2009.
Lalu, apa yang sebenarnya
terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar, tetapi tingkat penyerapan
tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap PDB makin rendah? Dengan
jumlah utang meningkat rata-rata Rp80 triliun per tahun selama lima tahun
terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35% tiap tahun pada
2005–2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank Indonesia) dengan target
PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio utang terhadap PDB makin
kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kunci pembangunan negara
ini adalah utang. Rasio utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena
utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar.
Berdasarkan data Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI, dapat dilihat bahwa pada
APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar
Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996 miliar untuk kebutuhan pembayaran
utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk menutupi defisit (68%). Lalu, dari
manakah sumber pembiayaan untuk menutupi kekurangan pembiayaan anggaran ini?
Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99% atau Rp201,772 miliar, baik berupa
utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Jadi, boleh dibilang, Indonesia
membayar utang dengan berutang alias gali lubang tutup lubang.
Masih menurut sumber data yang
sama, pada 2033, atau 24 tahun dari sekarang, 98% utang dalam negeri pemerintah
senilai Rp129 triliun akan jatuh tempo. Menurut data The Indonesia Economic
Intelligence (IEI), dana sebesar Rp129 triliun itu merupakan dana eks Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memang sudah harus dibayarkan kepada Bank
Indonesia. BLBI sendiri hingga kini masih menjadi isu yang kontroversial dan
belum tuntas penyelesaiannya.Saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha
Muda Indonesia di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan
pernyataan bahwa pemerintah sekarang boleh dibilang sedang bangkrut atau tidak
punya cukup uang untuk membangun dan membiayai perekonomian negara ini.
“Government is broke. Penerimaan pemerintah berkurang karena pajak yang masuk
berkurang,” kata Presiden ketika menyikapi kondisi perekonomian Indonesia saat
krisis global terjadi. Pernyataan tersebut merefleksikan kondisi ekonomi
nasional yang sangat rapuh saat menghadapi krisis. Maka, jalan untuk keluar
dari masalah ini adalah lagi-lagi dengan berutang.
5. Angka Kemiskinan
salah satu kemajuan yang
dikemukakan Presiden adalah pertumbuhan ekonomi yang terus membaik. Dampak positifnya, menurunnya tingkat
pengangguran terbuka dari 9,86 persen pada tahun 2004, menjadi 5,92 persen pada
bulan Maret tahun 2013. Demikian juga dengan tingkat kemiskinan yang berhasil
diturunkan pemerintah dari 16,66 persen atau 37,2 juta orang pada tahun 2004,
menjadi 11,37 persen atau 28,07 juta orang pada Maret 2013.
6.
Investasi
Dengan dicapainya kesepakatan antara pihak Negara
kreditur yang difasilitasi IMF dengan pemerintah Indonesia di awal Orde Baru,
Indonesia terbuka bagi investasi asing. Kuatnya pengaruh modal asing semakin
mempersulit pengusaha pribumi yang tergolong menengah ke bawah. Walaupun sudah
diterbitkan UU tentang Penanaman Modal Dalam Negeri tahun 1967, peraturannya
cukup ketat dalam penyertaan modal sehingga banyak pengusaha pribumi yang
tersisih.
Hingga kini, masuknya perusahaan asing dalam kegiatan
investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk mengisi
sektor-sektor usaha dan industri yang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh
pihak swasta nasional, baik karena alasan teknologi, manajemen, maupun alasan
permodalan. Modal asing diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran internasional melalui jaringan yang mereka miliki. Selanjutnya masuknya modal
asing diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempercepat proses
pembangunan ekonomi Indonesia. Keuntungan Indonesia dengan adanya kegiatan investasi adalah negara tidak melakukan
sendiri eksplotasi sumber daya
alam yang berguna untuk
konsumsi rakyatnya. Hal ini jelas mengurangi biaya pemerintah apabila
pemerintah melakukan sendiri hal tersebut, bahkan dapat mengatasi masalah
pengangguran dengan dibukanya lapangan kerja baru sehingga pendapatan di dalam
negeri meningkat maka terciptalah pertumbuhan ekonomi.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang seharusnya tidak boleh
hanya mementingkan pertambahan angka yang tinggi saja. Kepada siapa pertumbuhan
itu dapat dinikmati secara adil, itulah yang menjadi tujuan terpenting dari
pembangunan ekonomi. Maraknya investasi asing justru mendominasi perekonomian
Indonesia terutama dalam bidang energi dan sumber daya mineral. Para investor
dalam negeri seakan semakin kalah bersaing dengan para investor asing karena tidak
memiliki kakuatan yang besar di sektor finansial. Begitu juga dalam hal
pengelolaan dan teknologi, dengan jelas investor dalam negeri belum mempunyai
kemampuan yang menjanjikan dibanding investor asing yang kuat. Meredupnya
kegiatan para investor dalam negeri semakin diperparah dengan tidak kuatnya
proteksi dari pemerintah terhadap dominasi investasi asing. Dalam Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah cenderung mengedepankan
persaingan secara bebas antara investor dalam negeri dan investor asing karena
dalam undang-undang ini tidak ada pemisahan secara eksplisit antara investor
dalam negeri dan investor asing.
Kemudahan yang diterima para investor asing semakin
bertambah ketika pemerintah menawarkan kesepakatan yang sangat menguntungkan
mereka. Salah satu contoh kesepakatan tersebut adalah penjualan kepemilikan
Pertamina di Blok Cepu seharga USD 400 juta kepada PT. ExxonMobil. Sebuah nilai
yang sangat kecil menurut pengamat perminyakan karena potensi migas di Blok
Cepu sangat besar, bahkan yang terbesar di Indonesia. Pemerintah juga melakukan
rekayasa hukum dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang memberi kemudahan
fasilitas bagi ExxonMobil untuk menguasai Blok Cepu. Contohnya adalah
penerbitan PP No.34/2005 yang mana PP ini memberi pengecualian terhadap
beberapa ketentuan pokok Kontrak Kerjasama yang terdapat dalam PP No.35/2004.
Tujuannya, untuk memberi landasan hukum bagi ExxonMobil dalam memperoleh
kontrak selama 30 tahun. Ternyata, dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan
menguras habis sumber daya alam kita bukan disebabkan kinerja mereka sendiri,
tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan oleh pemerintah
kepada mereka (Sumber: www.igj.or.id).
Di sisi lain masuknya arus modal asing tersebut
merupakan sinyal meningkatnya hot money
(uang jangka pendek) yang jumlahnya sangat besar namun bersifat sementara.
Padahal yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah aliran modal yang menetap dan
bersifat padat karya, misalnya modal untuk mendirikan sebuah pabrik tekstil
yang akhirnya menyerap tenaga kerja. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pertumbuhan ekonomi yang berputar di lingkaran bursa saham maupun sektor
finansial lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tidak melibatkan industri padat
karya, seperti UMKM bukanlah pertumbuhan ekonomi yang patut dibanggakan.
Penanaman modal asing di Indonesia tidak serta merta
membawa Indonesia pada sebuah kemajuan ekonomi. Pemerintah harus mengkaji
kembali bagaimana penarikan modal asing yang mengarah pada kapitalisme dapat
diterapkan di Negara kita yang berlandaskan Pancasila. Di sinilah peran
sila-sila Pancasila dibutuhkan untuk memberantas kolonialisme kapitalis dalam
kehidupan bangsa Indonesia, termasuk bidang perekonomian. Penilaian terhadap hak-hak
asasi masyarakat Indonesia menjadi koreksi utama bagi sila-sila Pancasila
terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam perekonomian Indonesia
saat ini.
Comments
Post a Comment